TRADISI PENANGKAPAN PAUS DI BUMI LAMALERA

TRADISI PENANGKAPAN PAUS DI BUMI LAMALERA


Desa nelayan di Lamalera, Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur, hadir sejak berabad lampau. Seiring dengan tradisi mereka berburu paus saban Mei-November setiap tahun. Kebiasaan ini diperkirakan bermula pada tahun 1500-an, bersamaan dengan berdirinya kampung nelayan Lamalera di ujung selatan Lembata.

Adat warga setempat memang menunggu paus lewat dan menangkapnya, bukan memburunya. "Mereka hanya menangkap paus sperma bukan jenis lain di perairan dekat Lamalera,"kata Bona Beding, pria asli Lamalera yang aktif di bisnis penerbitan.

Paus yang ditangkap dibagikan kepada semua warga desa yang berjumlah sekitar 3.000 jiwa. Terlebih dahulu pembagian daging paus diberikan kepada para janda, fakir miskin, dan yatim piatu. Setelah kebutuhan seluruh desa terpenuhi, sisanya dibarter dengan bahan kebutuhan pokok semacam jagung dan beras dengan desa tetangga. Atau dijual untuk biaya sekolah anak dan kebutuhan lainnya.

Para nelayan Lamalera menggunakan peledang atau perahu kayu tradisional tanpa mesin dengan layar yang dibuat dari anyaman daun pandan. Mereka tak menggunakan perahu motor, karena takut baling-baling bakal melukai paus.

Tali untuk menangkap paus dirajut dari daun pohon gebang dan serat batang waru. Untuk menangkap mamalia laut raksasa itu, para matros alias penangkap paus memakai seutas leo alias tali sakral. Tali ini terbuat dari kapas yang dipintal dan dilumuri getah kulit pohon turi sebelum dikeringkan. Setelah dipakai, gulungan leo disimpan di bilik khusus rumah adat. 

Pagi itu, nelayan Lamalera hendak mengadakan perburuan terhadap paus yang merupakan bagian dari tradisi lokal warga setempat. Perburuan paus diwariskan sejak zaman dahulu kala dari leluhur mereka. Setelah mempersiapkan peralatan, Lamafa atau juru tikam bersama beberapa nelayan lainnya mulai naik perahu kecil, menyusuri wilayah perairan Lamalera.

Syarat jadi juru tombak alias lamafa sangat sederhana: ia harus lelaki baik-baik, prilakunya sopan, dan taat beribadah. Bisa berburu di pagi hari, malamnya ia dilarang tidur bersama istrinya. Bila pantangan itu dilanggar, warga meyakini, tak bakalan bisa menangkap satu pun paus.

Warga Lamalera telah menganggap paus sebagai anugerah Ilahi. Sebab itu, mereka tak gegabah atau berburu untuk komersial. Namun seperlunya, bahkan dalam setahun tidak boleh lebih dari 20 ekor. Itupun, hanya paus tua yang tak produktif.

Mereka tak akan menyerang paus muda atau paus betina. Mata mereka sudah sangat jeli melihat tanda-tanda paus yang boleh diburu dan jadi pantangan. Melanggar aturan turun temurun, mereka yakini bakal mendatangkan musibah bagi kampung.

Setelah beberapa menit menyusuri lautan, pandangan nelayan ini tertuju pada segerombolan paus yang melakukan akrobat laut. Sesekali mamalia laut itu meluncur ke udara, dan jatuh ke air laut. Paledang kapal kayu berlayar nyaman dengan daun pandan yang ditenagai dayung dan meluncur kearah paus. Sang lemafa berdiri di ujung kapal. Saat menemukan sasaran, ia melompat dan mengincar batok kepala paus.

Dalam penangkapan ikan paus dibutuhkan jiwa yang pemberani dan tangguh, serta rela berkoban apabila meninggal dalam proses penangkapan ikan paus. Tidak jarang banyak nelayan yang meninggal di medan penangkapan ikan paus. 

Demikianlah tradisi penangkapan Paus di bumi Lamalera.

0 Response to "TRADISI PENANGKAPAN PAUS DI BUMI LAMALERA"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel